Ulasan Cerpen Ahmad Tohari: "Mereka Mengeja Larangan Mengemis", Kritik Sosial yang Menggemaskan.
Membaca
cerpen yang dipublikasikan di Kompas Minggu 15 September 2019 ini, sungguh
membuat saya tersenyum dari opening sampai ending. Bagaimana tidak, mulai dari
judul cerpen yang menggoda dengan empat kata, sampai karakter yang punya nama
unik, namanya Gupris. Gadis kecil lugu yang ceriwis dan menggemaskan. Dua hal
itu sudah cukup mewakili tema yang di usung oleh penulis kawakan Ahmad Tohari
(penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dan banyak lagi karya lainnya). Juga
ada karakter antagonis Pak Hansip Karidun yang sok tahu segalanya tentang
pemerintahan dengan gayanya yang lucu dan khas. Saya jadi malu sama beliau yang
masih sangat produktif.
![]() |
Kompas 15 September 2019 |
Bercerita tentang Gupris seorang
anak jalanan dan teman-temannya, yang berprofesi sebagai pengemis dan pengamen
jalanan. Hanya Gupris saja yang “kebetulan” pernah sekolah sebentar. Alur
ceritanya mengalir ringan dan saya suka dengan gaya bahasa penulis yang menghibur.
Gadis kecil itu adalah kritik sosial kepada pemerintah. Dia secara tak sengaja
membaca papan pengumuman besar dan mengeja : “Barang siapa mengemis dan
mengamen, dipidana kurungan...”. Bahkan arti dipidana kurungan pun, mereka
tidak tahu. Sampai bertanya kepada Pak Karidun, yang menjelaskan dengan sok
galak, berharap mereka memahami apa maksud dipidana alias di penjara.
Cerpen ini benar-benar seperti real
apa adanya. Saya seperti melihat secara langsung anak-anak jalanan yang berlari
melompat kesana kemari dari bus kota yang satu ke bus yang lain. Karena sampai
detik ini pun mereka masih ada di sekitar kita. Pemerintah dengan segala
kebijakannya memberikan alternatif cara mengatasi masalah kota yang penuh
dengan pengemis, anak jalanan dan pengamen.
Padahal mereka adalah anak-anak usia sekolah. Tapi mengapa jalan keluarnya
hanya dengan memasang papan pengumuman? Mengapa harus dipidana kurungan?
Masalah Perkotaan di Indonesia
Penyampaian kritik sosial yang halus
dan elegan ini, membuat saya teringat film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Film
yang juga mengangkat kritik sosial bahwa rugi sekali kalau hanya menjadi
pencopet penumpang bus atau copet mall. Padahal copet berdasi mendapat uang
lebih banyak. Bahkan ketika sudah berubah menjadi pedagang asongan pun, mereka
ditangkap Satpol PP. Begitu juga dengan komplotan Gupris dan kawan-kawan ini
menjadi bingung dengan papan pengumuman larangan mengamen, padahal mereka bukan
pencopet dan pencuri. Apa salahnya? Sebaiknya pemerintah lebih bijaksana lagi
dalam masalah kota ini. Gupris dan teman lainnya, hanya memikirkan makan dan
makan. Mereka tidak punya pilihan yang pada endingnya, mereka melarikan diri
dengan truk dan berkelana ke kota-kota lainnya untuk menyambung hidup. Memang
sebuah dilema umum. Di satu sisi kota ingin lebih rapi dan bersih dengan
tiadanya pengemis dan pengamen, tapi di sisi lainnya ada masalah kemiskinan
yang masih menggerogoti kota.
Bagaimana Jalan Keluarnya?
Dari
cerpen karya Ahmad Tohari ini, yang usianya sudah 70 tahun lebih, kita menjadi
berkaca pada kondisi beberapa kota yang masih belum tertata dengan baik. Bahwa
hanya dengan menancapkan papan pengumuman itu, masalah kota tidak otomatis
selesai. Sama sekali belum selesai. Jalan keluarnya adalah anak-anak harus
tetap sekolah. Pemerintah harus mendata anak-anak jalanan ini, lalu
dikumpulkan. Mereka harus dimasukkan ke semacan Yayasan, mereka punya hak mendapatkan
sekolah gratis. Bukan dimasukkan penjara. Pihak terkait memberikan pengarahan
dan motivasi bahwa sekolah adalah bekal untuk mengisi kehidupan yang lebih baik
di masa depan. Lalu mereka juga diberikan bekal keterampilan sesuai minat dan
bakatnya masing-masing.
Ayolah yang merasa cerdas, kita
pikirkan bersama-sama masalah perkotaan ini. Jangan hanya main larang-melarang,
seolah masalah sudah beres. Masalah beres pindah ke kota lain? Pikir lagi dong...
Tidak ada komentar: