Yanti Ingin Pulang
Bahagia
itu telah terkikis. Hanya beberapa hari dirasakan perempuan itu, pernikahannya
bahagia di puncak langit ke tujuh. Tapi apa daya, hari-hari belakangan terasa
ada yang semakin tidak mengenakkan. Ada beban yang harus ditanggungnya. Namanya
Yanti. Perempuan dari keluarga berada, yang menikah dengan lelaki sederhana bernama
Bagas. Sosok gagah dan pemuda soleh. Semua perempuan yang memandangnya, dijamin
akan terpukau dengan tatapan matanya dan bahasa tubuhnya yang bijak serta tutur
katanya yang lembut sopan santun.
Ilustrasi Media Cetak |
Bersyukurlah Yanti yang memiliki suami
yang tidak kurang suatu apapun. Tapi ibarat tak ada gading yang tak retak. Ada
satu kekurangan yang sulit sekali di ceritakan oleh perempuan berkulit kuning
itu. Kondisi rumah yang sederhana memang bisa mendinginkan suasana hati menjadi
lebih sejuk. Namun gejolak dan tekanan batin tak bisa dibohongi. Bagas tinggal
bersama ibunya yang sendirian. Otomatis kini ada tiga orang di rumah itu.
Bukan, sama sekali bukan karena ibu
mertuanya yang cerewet atau sok mengatur. Tapi malah dia adalah benar-benar
seorang wanita yang luar biasa tangguh. Cintanya pada keluarga sungguh di luar
bayangan Yanti. Jadi , tidak ada masalah dengan ibu mertua.
*****
Pagi itu matahari sudah memancarkan
cahaya oranye. Awan sedikit menutupi pendar merah, jadi terlihat muram. Ayam
kampung berkokok dan keluar kandang. Sangat bising di kampung ini. Suara-suara
binatang ternak sudah bersahutan, seolah berkata “Hai, aku sudah bangun nih”. Anak-anak
sudah siap berangkat sekolah. Yanti sudah mulai memasak untuk sarapan pagi.
Menyiapkan segala keperluan Bagas. Sementara ibu mertua sudah selesai menyapu
halaman dan merapikan tanaman yang merambat dan pot-pot bunga yang kurang
teratur.
Beberapa minggu berlalu, tampak
seperti berjalan lambat. Bagi Yanti itu sangat menyiksa. Menjadi seorang istri
adalah satu fase kewajiban yang harus dinikmati setiap perempuan. Dan dia
sedang berjuang untuk menikmati itu semua. Belanja, berbasa basi dengan
tetangga, tertawa ketika ada yang perlu ditertawakan dan tersenyum ketika ada
kejadian yang sedikit lucu. Baik-baik membawa diri menjadi penduduk kampung
yang ramah ini.
“Kamu kelihatan tidak bahagia hidup
bersamaku. Benarkah, Dik?”, tanya suami pada suatu hari. “Ah, siapa bilang?
Mungkin aku hanya kangen rumah. Kan memang aku anak rumahan?”, perempuan itu
hanya menunjukkan senyum sekilas. Matanya masih terlihat memendam api cinta
yang besar. “Ya, sudah. Aku mendengar desas desus orang-orang. Jadi semua itu
tidak benar, kan?”. Yanti hanya menggeleng tanpa sepatah katapun. Kembali
bibirnya dihias senyum tipis. Tapi kali ini dadanya berdetak cepat. “Haruskan
aku jujur pada suamiku Bagas? “,batinnya ragu. Entahlah mungkin suatu hari dia
harus jujur pada diri sendiri. Perasaan memang bisa disembunyikan, tapi roman
muka kadang lebih jujur terpampang jelas apa adanya. Yanti berlalu dari hadapan
suaminya, tak ingin lelaki itu mengorek hatinya lebih dalam.
*****
“Mas, ada sms dari sepupuku di dekat
rumah orangtuaku. Mbak Sri sudah melahirkan. Aku harus menjenguknya, memberi
support dan beli kado buat bayinya”, jelas Yanti. Inilah kesempatan yang indah,
yang ditunggu-tunggu perempuan itu. Seketika roman wajahnya yang bersih jadi
sumringah. “Iya, kapan kita kesana?”, jawab Bagas sore itu sepulang kerja.
“Gimana kalau besok sore saja, setelah Mas pulang kerja?”. Lelaki di depannya
mengangguk. “Ohya, hari ini aku diantar ke swalayan ya, buat beli kado”. Kembali
lelaki itu mengiyakan.
Esok yang ditunggu Yanti sudah tiba. Udara
pagi yang dingin mengoyak tidur Yanti. Dia langsung keluar menghirup udara
sejuk. Seperti seorang tahanan yang akan bebas dari rutan, dia ingin berteriak
“Aku bebas!”. Tapi ditahannya kata-kata itu. Hanya senyum lebar yang menghiasi
mukanya. Sepeda motor akan segera disiapkan, padahal masih nanti sore dia akan
ke rumah Mbak Sri. Kado manis berwarna kuning berbunga tulip itu masih
tergeletak di meja ruang tamu.
*****
Bolak-balik dia menoleh ke arah jam
dinding putih itu. Masih jam 4 pas. Suami yang ditunggu belum pulang. Ibu
mertua juga sudah berdandan rapi. Katanya ingin ikut menjenguk bayi, terutama
kangen sama besan. Tiba-tiba ada sms dari Bagas. “Kamu berangkat saja dulu,
kalau kelamaan nunggu, kamu malah cemberut nanti. Biar ibu sama aku saja
menyusul”. Akhirnya perempuan itu bersiap berangkat sendiri naik motor. Kontan
saja semua tetangga kasak kusuk , “Kelihatannya Yanti purik, tuh”. Ada juga yang berpikir , “Wah, Yanti mau pulang ke
rumah orangtuanya. Dia mau minggat”.
*****
Perempuan muda itu memancarkan wajah
yang hidup. Hilang kegundahan selama ini. Sudah lega menghapus kangen pada
rumah dan orangtuanya. Sementara matahari masih bercumbu dengan embun yang
mengembara, dia sudah bersiap kembali ke rumah Bagas dengan bersepeda motor sendiri.
Sementara suaminya membonceng ibunya. Tak disadari mereka bahwa Yanti telah
menjadi bahan pembicaraan orang sekampung.
Sesampai di halaman rumah, perempuan
yang kini ceria itu langsung di sambut Mak Warni tetangga sebelah rumah ,”Lho,
katanya purik (ngambek:Jawa) ? Kok balik lagi?”. Yanti yang
memarkir motornya langsung terlonjak, “Hah? Siapa yang purik, Mak? Kalau saya ngambek, ngapain balik lagi? Nggak ada yang
ngambek, kok. Ada-ada saja. Pagi-pagi jangan bergosip, dong!”. Terang saja
Yanti sedikit nyolot menjawab pertanyaan tidak penting itu.”Oh, saya kira
purik”, sambung Mak Warni seraya beringsut mundur dan masuk ke rumahnya.
*****
Malamnya, Bagas merasa ada yang tidak
beres dengan beberapa kejadian yang dirasa agak janggal. Mulai Yanti yang
sangat ingin pulang, wajahnya yang tampak kurang bahagia, sampai ada tetangga
yang bergosip kalau dirinya sedang purik
mau pulang ke rumah orangtuanya. Bagas mendekati Yanti yang bersiap untuk
lelap. “Dik, kamu memang kelihatan kurang bahagia di rumah ini. Pantas para
tetangga membicarakan kita. Ada masalah apa sih?”, tanya Bagas dengan
hati-hati. “Nggak enak diomongin, Mas”. Yanti menunduk lesu. Dia merasa
dihakimi malam ini. “Aduh, jujur saja. Ngomong saja. Nggak apa-apa, kok”.
“Jujur. Aku nggak bisa BAB dengan WC jongkok . Sedangkan di rumah orangtua, aku
terbiasa dengan WC duduk. Aku merasa agak susah. Mungkin belum terbiasa.
Makanya aku merasa agak tertekan”. Yanti masih menunduk tersipu. Kontan saja
suaminya tertawa lepas. Tiba-tiba dia teringat setiap ke kamar mandi, Yanti
selalu lama nongkrong disana. “Ya ampun, istriku! Kupikir ada apa? Doakan aku
punya rezeki lebih ya, aku akan buatkan WC duduk buat kamu!”. Yanti langsung
memandang lelaki di depannya dengan mulut menganga. Sementara suaminya
mengangguk cepat dan memeluknya erat.
(Cerpen ini sudah dimuat di Jawa Pos, September 2014)
Tidak ada komentar: