Yanti Ingin Pulang

April 21, 2019

Bahagia itu telah terkikis. Hanya beberapa hari dirasakan perempuan itu, pernikahannya bahagia di puncak langit ke tujuh. Tapi apa daya, hari-hari belakangan terasa ada yang semakin tidak mengenakkan. Ada beban yang harus ditanggungnya. Namanya Yanti. Perempuan dari keluarga berada, yang menikah dengan lelaki sederhana bernama Bagas. Sosok gagah dan pemuda soleh. Semua perempuan yang memandangnya, dijamin akan terpukau dengan tatapan matanya dan bahasa tubuhnya yang bijak serta tutur katanya yang lembut sopan santun.

Ilustrasi Media Cetak

                   Bersyukurlah Yanti yang memiliki suami yang tidak kurang suatu apapun. Tapi ibarat tak ada gading yang tak retak. Ada satu kekurangan yang sulit sekali di ceritakan oleh perempuan berkulit kuning itu. Kondisi rumah yang sederhana memang bisa mendinginkan suasana hati menjadi lebih sejuk. Namun gejolak dan tekanan batin tak bisa dibohongi. Bagas tinggal bersama ibunya yang sendirian. Otomatis kini ada tiga orang di rumah itu.
                 Bukan, sama sekali bukan karena ibu mertuanya yang cerewet atau sok mengatur. Tapi malah dia adalah benar-benar seorang wanita yang luar biasa tangguh. Cintanya pada keluarga sungguh di luar bayangan Yanti. Jadi , tidak ada masalah dengan ibu mertua.
                                                          *****
          Pagi itu matahari sudah memancarkan cahaya oranye. Awan sedikit menutupi pendar merah, jadi terlihat muram. Ayam kampung berkokok dan keluar kandang. Sangat bising di kampung ini. Suara-suara binatang ternak sudah bersahutan, seolah berkata “Hai, aku sudah bangun nih”. Anak-anak sudah siap berangkat sekolah. Yanti sudah mulai memasak untuk sarapan pagi. Menyiapkan segala keperluan Bagas. Sementara ibu mertua sudah selesai menyapu halaman dan merapikan tanaman yang merambat dan pot-pot bunga yang kurang teratur.
                     Beberapa minggu berlalu, tampak seperti berjalan lambat. Bagi Yanti itu sangat menyiksa. Menjadi seorang istri adalah satu fase kewajiban yang harus dinikmati setiap perempuan. Dan dia sedang berjuang untuk menikmati itu semua. Belanja, berbasa basi dengan tetangga, tertawa ketika ada yang perlu ditertawakan dan tersenyum ketika ada kejadian yang sedikit lucu. Baik-baik membawa diri menjadi penduduk kampung yang ramah ini.
                “Kamu kelihatan tidak bahagia hidup bersamaku. Benarkah, Dik?”, tanya suami pada suatu hari. “Ah, siapa bilang? Mungkin aku hanya kangen rumah. Kan memang aku anak rumahan?”, perempuan itu hanya menunjukkan senyum sekilas. Matanya masih terlihat memendam api cinta yang besar. “Ya, sudah. Aku mendengar desas desus orang-orang. Jadi semua itu tidak benar, kan?”. Yanti hanya menggeleng tanpa sepatah katapun. Kembali bibirnya dihias senyum tipis. Tapi kali ini dadanya berdetak cepat. “Haruskan aku jujur pada suamiku Bagas? “,batinnya ragu. Entahlah mungkin suatu hari dia harus jujur pada diri sendiri. Perasaan memang bisa disembunyikan, tapi roman muka kadang lebih jujur terpampang jelas apa adanya. Yanti berlalu dari hadapan suaminya, tak ingin lelaki itu mengorek hatinya lebih dalam.

                                                *****
            “Mas, ada sms dari sepupuku di dekat rumah orangtuaku. Mbak Sri sudah melahirkan. Aku harus menjenguknya, memberi support dan beli kado buat bayinya”, jelas Yanti. Inilah kesempatan yang indah, yang ditunggu-tunggu perempuan itu. Seketika roman wajahnya yang bersih jadi sumringah. “Iya, kapan kita kesana?”, jawab Bagas sore itu sepulang kerja. “Gimana kalau besok sore saja, setelah Mas pulang kerja?”. Lelaki di depannya mengangguk. “Ohya, hari ini aku diantar ke swalayan ya, buat beli kado”. Kembali lelaki itu mengiyakan.
                Esok yang ditunggu Yanti sudah tiba. Udara pagi yang dingin mengoyak tidur Yanti. Dia langsung keluar menghirup udara sejuk. Seperti seorang tahanan yang akan bebas dari rutan, dia ingin berteriak “Aku bebas!”. Tapi ditahannya kata-kata itu. Hanya senyum lebar yang menghiasi mukanya. Sepeda motor akan segera disiapkan, padahal masih nanti sore dia akan ke rumah Mbak Sri. Kado manis berwarna kuning berbunga tulip itu masih tergeletak di meja ruang tamu.

                                                *****
                 Bolak-balik dia menoleh ke arah jam dinding putih itu. Masih jam 4 pas. Suami yang ditunggu belum pulang. Ibu mertua juga sudah berdandan rapi. Katanya ingin ikut menjenguk bayi, terutama kangen sama besan. Tiba-tiba ada sms dari Bagas. “Kamu berangkat saja dulu, kalau kelamaan nunggu, kamu malah cemberut nanti. Biar ibu sama aku saja menyusul”. Akhirnya perempuan itu bersiap berangkat sendiri naik motor. Kontan saja semua tetangga kasak kusuk , “Kelihatannya Yanti purik, tuh”. Ada juga yang berpikir , “Wah, Yanti mau pulang ke rumah orangtuanya. Dia mau minggat”.
                                                *****
          Perempuan muda itu memancarkan wajah yang hidup. Hilang kegundahan selama ini. Sudah lega menghapus kangen pada rumah dan orangtuanya. Sementara matahari masih bercumbu dengan embun yang mengembara, dia sudah bersiap kembali ke rumah Bagas dengan bersepeda motor sendiri. Sementara suaminya membonceng ibunya. Tak disadari mereka bahwa Yanti telah menjadi bahan pembicaraan orang sekampung.
                  Sesampai di halaman rumah, perempuan yang kini ceria itu langsung di sambut Mak Warni tetangga sebelah rumah ,”Lho, katanya purik (ngambek:Jawa) ? Kok balik lagi?”. Yanti yang memarkir motornya langsung terlonjak, “Hah? Siapa yang purik, Mak? Kalau saya ngambek, ngapain balik lagi? Nggak ada yang ngambek, kok. Ada-ada saja. Pagi-pagi jangan bergosip, dong!”. Terang saja Yanti sedikit nyolot menjawab pertanyaan tidak penting itu.”Oh, saya kira purik”, sambung Mak Warni seraya beringsut mundur dan masuk ke rumahnya.
                                                *****
          Malamnya, Bagas merasa ada yang tidak beres dengan beberapa kejadian yang dirasa agak janggal. Mulai Yanti yang sangat ingin pulang, wajahnya yang tampak kurang bahagia, sampai ada tetangga yang bergosip kalau dirinya sedang purik mau pulang ke rumah orangtuanya. Bagas mendekati Yanti yang bersiap untuk lelap. “Dik, kamu memang kelihatan kurang bahagia di rumah ini. Pantas para tetangga membicarakan kita. Ada masalah apa sih?”, tanya Bagas dengan hati-hati. “Nggak enak diomongin, Mas”. Yanti menunduk lesu. Dia merasa dihakimi malam ini. “Aduh, jujur saja. Ngomong saja. Nggak apa-apa, kok”. “Jujur. Aku nggak bisa BAB dengan WC jongkok . Sedangkan di rumah orangtua, aku terbiasa dengan WC duduk. Aku merasa agak susah. Mungkin belum terbiasa. Makanya aku merasa agak tertekan”. Yanti masih menunduk tersipu. Kontan saja suaminya tertawa lepas. Tiba-tiba dia teringat setiap ke kamar mandi, Yanti selalu lama nongkrong disana. “Ya ampun, istriku! Kupikir ada apa? Doakan aku punya rezeki lebih ya, aku akan buatkan WC duduk buat kamu!”. Yanti langsung memandang lelaki di depannya dengan mulut menganga. Sementara suaminya mengangguk cepat dan memeluknya erat.       

(Cerpen ini sudah dimuat di Jawa Pos, September 2014)




Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.