Perempuan Pengagum Rahasia

April 21, 2019




     Entah sudah berapa kali perempuan berambut panjang itu membaca koran berisi cerita pendek di tangannya. Mungkin sudah belasan kali bahkan puluhan kali. Entah sudah berapa kali dia meratap, sesenggukan berurai air mata, dadanya kebat kebit setiap membaca cerpen-cerpen itu. Dia seperti masuk dalam sebuah terowongan imajinasi yang tersaji lewat deretan kata-kata manis romantis, kadang terbawa amarah dalam deretan kata yang beringas dan dendam mambara.

     Perempuan bermata tajam namun syahdu itu, selalu menyimpan cerpen-cerpen itu dalam sebuah kliping bercover biru muda dengan lembar-lembar plastik mika bening di dalamnya. Semua cerpen keren itu dengan nama penulis yang sama, Bintang Darmawan. Lelaki dengan rambut ikal dengan senyum manis tanpa makna.

     Sore rebah ke barat dan semburat jingga menyapa langit. Perempuan itu meletakkan kliping di meja kerjanya. Sekali lagi dipandangnya sekilas lelaki dalam cover itu yang punya tatapan misterius. Perempuan itu menghembuskan nafasnya. Duduk cangkruk dengan kaki diangkat ke kursi, menatap lekat gambar lelaki itu. Dia penulis terkenal dan perempuan itu sangat mengenalnya-hanya sebatas menonton siaran interview di televisi atau liputan tentang profilenya di majalah.

     “Ngefans sih ngefans, tapi nggak sampai gitu juga.” Selalu terngiang komentar-komentar miring dari teman-teman sesama pelatih yoga. Tapi perempuan itu tak pernah menggubris semua cibiran dan nyinyir yang masuk kuping. Dia hanya tersenyum dan bertekad suatu saat pasti bertemu dengan penulis pujaannya. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana cara untuk terhubung dengan dia yang punya bejibun follower di media sosial. Bagaimana caranya supaya dia mencuat menjadi sosok yang bersinar diantara semua fansnya. Dia hampir gila memikirkan itu semua.

     Di setiap aktivitasnya melatih yoga, selalu terbayang mata cerdas lelaki itu. Di setiap video di Youtube yang dia tonton, tatapan mata itu selalu menghunjam ke ujung jantungnya bagai belati, menyihir batinnya. Teringat lagi cerita pendek yang ditulisnya, barisan judul-judul cerpennya semua dia hafal. Setiap cerpen yang dimuat di media cetak, dia merasakan keanehan bahwa Bintang menuliskan cerita khusus untuknya. Bukan untuk orang lain. Saat dia resah dan gundah, cerpennya seperti membelai-belai rambutnya, mengecup keningnya dan memberi kata-kata yang menghangatkan. Saat dia marah dan ingin meninju orang, dia bertemu dengan cerpen yang penuh amarah dan dengki membuncah. Dadanya ikut naik turun dan selepas mambaca, dia mendengus dan menarik nafas panjang, lalu terasa lega. Mengapa ini bisa terjadi? Perempuan itu tak bisa menjawab keajaiban ini. Intuisinya pun bekerja. Dia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa suatu saat ada moment yang tepat untuk bisa bertemu dengan lelaki bermata misterius itu.

*****

      Setiap aroma pagi menyapa, setiap alarm meraung-raung membangunkannya, dia selalu bahagia. Dia akan membuka kliping cerpen itu dan tersenyum meskipun belum mandi. Dia mencium cover bergambar lelaki itu. “Selamat pagi, cerpenku! Pagi, Bintangku!” Kadang dia hanya membaca beberapa kalimat yang sudah dihafalnya lalu bergegas melompat mandi kalau sedang ada jadwal yoga. Setelah membuat sarapan roti dan susu low fat, langsung berjalan mengambil koran pagi yang sudah berada di depan pintu. Seperti biasa, dia tak pernah membaca headline halaman depan koran di tangannya. Dia langsung membalik koran ke halaman belakang. Dia terpaku pada informasi lomba menulis cerpen. Otak kanannya berebut menggedor-gedor intuisinya. Otaknya meraung menderu bercampur dengan ambisinya. Entah dia tak tahu apakah ini sekedar ambisi atau nafsu untuk bertemu dengan sosok lelaki penulis itu. Dia diam terpaku, mereka-reka dan mengurai benang-benang kemungkinan yang bisa terjadi yang dihubungkan dengan cerpen-cerpen yang sudah melayang-layang dalam ingatannya. Seolah cerpen-cerpen itu sedang mengolok dengan tatapan sinis. “Hey! Jangan cuma membaca aku saja. Kenalan dong sama penulisnya. Cowok keren yang masih jomblo. Rugi kalau hanya menjadi pengagum rahasia. Kamu akan capek sendiri!”.

     Perempuan itu mendengus kesal. Dia merasa tidak rugi kok selama ini. Meskipun dia harus berteman baik dengan semua kios koran di beberapa kota besar. Kalau ada kabar cerpen nya di muat di kota mana pun, dia akan segera berburu untuk mendapatkan koran itu. Bahkan dia akan rela membayar lebih mahal untuk selembar koran itu.

     Dia yakin, lomba menulis cerpen adalah pintu gerbang untuk bertemu dengannya. Sesegera mungkin. Perempuan itu segera mantap dengan pilihannya. Mengambil lap top dan mulai mengetik kata demi kata.

  *****

      “Gila bener nih orang. Nggak tahu dia, siapa yang jadi juri?” Lelaki itu terhenyak membaca cerpen yang masuk.

      “Kenapa, Bin? Plagiat?” Tanya Gilang yang juga menjadi salah satu juri lomba menulis cerpen itu. “Iya, ini cerpenku yang diplagiat. Aku baru ingat, ini cerpenku yang sudah lama sekali. Bahkan aku hampir lupa dengan cerita ini. Kok bisa dia mendapat cerita ini ya?” Bintang Darmawan tak habis pikir dengan cerpen yang ada ditangannya. Lembaran kertas itu langsung disimpan di tas ranselnya.

      “Permalukan saja dia, undang saja waktu ada pengumuman pemenang.” Beberapa teman Bintang berkomentar sengak dan menyakitkan. Lebih tepatnya menyedihkan para penulis, karena masih saja ada beberapa plagiator yang menyelip pada saat ada lomba menulis cerpen semacam ini. Bintang hanya menggeleng dan tersenyum kecut mendapati kenyataan yang tak menyenangkan itu. Cerpen yang ditulis dengan segala daya kreativitas dan memeras ide, dengan enteng tanpa rasa berdosa, ada seseorang yang menyalin dengan gegap gempita cerpen yang dibuatnya. Bahkan dia seperti mengetik kembali kata demi kata yang tersusun rapi. Tak ada perubahan sama sekali. Ajeng Prameswari. Hanya nama penulis tertera disana. Ingin diremasnya kertas yang ada di tangannya tadi, lalu membuang ke tempat sampah, atau langsung membakarnya. Perempuan busuk yang tak mampu menulis, mengapa harus membohongi diri sendiri untuk pura-pura menjadi penulis? Bintang tak habis pikir. Dia hanya mampu memaki-maki perempuan itu dalam hati. Tak mungkin sepanjang jalan pulang dia teriak-teriak sendiri seperti orang sinting.

     Hanya orang sinting dan tak punya puser yang mau melakukan tindakan biadab ini. Bintang masih mendengus kesal sesampai di rumahnya. Dia membuat segelas teh hangat tanpa gula. Dietnya untuk menjaga berat badan yang dilakukan selama setahun ini. Dia duduk memandang sore yang masih cerah. Langit masih membiru dan sedikit kelabu di sebelah utara dan selatan. Angin sore masuk ke jendela yang menghadap arah barat. Tiba-tiba lelaki itu mengambil kertas yang tergeletak di meja. Dia membuka lembaran kertas itu dan langsung mengintip bagian belakang yang tertera biodata penulis sekaligus terpampang nomor handphone Ajeng Prameswari. Nama yang indah tapi tak seindahnya perangainya. Dia menyambar smartphone nya dan memencet nomor-nomor itu.

     “Selamat sore. Benar ini Ajeng Prameswari?” Suara lelaki itu membuyarkan lamunan perempuan yang sedang tergila-gila itu. Nuraninya tersentak seperti baru saja ada aliran listrik yang menyetrumnya. Dia seketika duduk tegak. Dadanya berdegup kencang. Dia seperti baru saja tersadar dari tidurnya dan masuk dalam dunia nyata yang selama ini dicarinya. Suara itu seperti menghipnotisnya . Perempuan itu yakin bahwa ada seseorang yang sedang memandangnya dari jauh.

     “Halo? Masih ada orang?” Suara itu lagi adalah kekuatan super yang sedang membangunkan tidurnya. Perempuan itu gugup, dengan suara jawaban berdehem tidak jelas.

      “Hmm, iya. Eh, saya Ajeng. Anda? Oh, maaf. Ada yang bisa saya bantu?” Perempuan itu terpaku, tak bisa menyusun kata-kata dengan baik. 

      “Saya Bintang. Bisa kita bertemu? Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda. Tempat dan waktu nanti saya info.” Klik. Telpon di tutup dan suara menghilang.

     Handphone perempuan itu terjatuh di pangkuannya. Dia menarik nafas panjang dan melemparkan punggungnya ke kursi. Tubuhnya lemas lunglai seketika bercampur dengan degup jantung yang tak henti berdetak cepat seiring dengan hatinya yang sedang berteriak kegirangan. Rasanya dia ingin melompat dari ketinggian dan terjun ke kolam renang atau ke laut sekalian. Dia ingin berteriak dari atas gunung tertinggi di dunia. Tapi nyatanya dia hanya bisa menutup mata rapat-rapat dan menutupi lagi dengan dua telapak tangannya. Perempuan yang tergila-gila itu hanya ingin menikmati kegilaan dan kegelapannya yang akut. Gelap. Hanya itu yang dirasakannya. Entah dia tak berani menduga-duga apa yang akan terjadi berikutnya.

*****

     Di sebuah restoran yang romantis dengan sudut elegan nuansa dinding kayu. Ada seorang lelaki dengan kaos oblong dan jeans hitam belel yang sebenarnya sama sekali tidak cocok dengan tempat ini. Perempuan itu langsung bisa mengenali siapa dia. Sosok yang sudah membuatnya sinting level empat selama bertahun-tahun lamanya.

     “Hai, Bintang Darmawan? Saya Ajeng.” Perempuan itu mengulurkan tangan kanannya. Bintang terhenyak tak berkedip beberapa detik. Seketika itu juga dia berusaha sekuat tenaga untuk menguasai diri dan mempersilakan duduk perempuan dengan rambut terurai di depannya.

     “Kau pasti sudah bisa menduga mengapa aku ingin bertemu.” Susah payah lelaki itu menemukan kalimat yang pas untuk pembukaan.

     “Bintang, aku tak bisa membohongi diri sendiri. Aku sudah lama tergila-gila sama cerpen-cerpenmu. Dan mungkin juga cinta mati sama...kamu. Makanya aku mencari cara untuk bertemu denganmu.Maafkan aku.” Perempuan itu terdiam dan segera menyadari kebodohannya. Tapi ada sedikit kelegaan di sudut hatinya. Ada bom yang telah meledak dan itu membahagiakan, meskipun sebentar lagi lelaki di depannya akan berlalu dari hadapannya. Tapi dia tak peduli.

    “Kalau hanya ingin bertemu, mengapa kau pilih cara yang jorok ini?” Bintang memandang lekat pada bola mata perempuan itu. Tapi perempuan di depannya tidak punya keberanian untuk memandang balik.

   Beberapa detik kemudian, dia mengumpulkan keberanian sedikit demi sedikit. “Sebenarnya aku tahu cara yang baik bertemu denganmu. Kirim surat cinta via email, mungkin. Tapi aku sudah bisa menduga jawabanmu. Kau akan membalas dengan ucapan terim kasih, tulisanmu akan penuh dengan kata sopan santun penolakan dan ditutup dengan emoticon smile , lalu email kau kirim tanpa melihat foto profile ku. Iya, kan? Makanya aku pilih cara yang menjijikkan ini. Cara yang tak beradab dan seratus persen tidak kreatif karena hanya copy paste.” Perempuan itu menarik nafas panjang dan melanjutkan kalimatnya.

     “Tapi inilah cara paling cepat untuk segera bertemu denganmu. Dan aku mendapatkan sukses besar karena kau yang lebih dulu menelpon aku.”

     Bintang tersenyum kecut menyadari dirinya menjadi bahan taruhan perempuan di depannya. Meskipun dalam hati dia ingin memaki dirinya sendiri. Yang lebih menyakitkan adalah perempuan itu mirip sekali dengan cewek cinta monyetnya di SMP yang pernah memberikan inspirasi menulis untuk pertama kalinya. Matanya cemerlang lucu, sedangkan Ajeng punya mata teduh dan sangat dewasa.

     “Sebelum kau pergi dari hadapanku, kau harus mampir ke rumahku. Kau harus lihat kliping cerpenmu. Kau akan tahu siapa aku yang sebenarnya.”

     Sang penulis itu menurut saja. Ternyata kemalasannya untuk melanjutkan pertemuan itu kalah dengan pesona perempuan bak magnet berkekuatan super. Lelaki itu tak sanggup menolak sosok perempuan itu.

     Sesampai di rumah, Ajeng memberikan kliping bercover biru itu dan terpampang foto lelaki itu. Bintang menerima dengan tangan bergetar. Dia membuka halaman demi halaman yang terpampang. Tulisannya dari berbagai media yang ada di Indonesia. Bahkan koleksi Ajeng jauh lebih lengkap dari kepunyaannya sendiri. Menandakan Ajeng lebih keras perjuangannya dalam mendapatkan karya-karya cerpen itu. Bintang terdiam. Dia seperti melayang. Lelaki itu memandang lagi Ajeng.

     “Kau perempuan yang luar biasa, Ajeng.”

   “Mengapa? Hanya karena aku berhasil menjadi Juara satu kolektor cerpen Bintang terbanyak?” Perempuan itu bertanya dengan mata berkaca-kaca.

    “Tidak. Sama sekali tidak. Kau perempuan asing bagiku. Tapi kau berhasil meredam emosiku yang sudah seperti gunung berapi mau menyemburkan lava panasnya. Kau menggagalkan itu semua.”

     “Ohya, maafkan aku. Silakan maki-maki saja. Aku pantas mendapatkannya. Perempuan tak waras denga tingkahnya yang konyol tak beradab. Silakan!”

     “Tidak, Ajeng. Semua karena sinar matamu. Aku menemukan kembali seseorang yang lama hilang.” Dua orang sedang berhadapan. Ingin rasanya lelaki itu merengkuhnya. Tapi tak bisa dia lakukan.

     “Aku permisi dulu. Pada saatnya nanti aku akan kembali.” Lelaki itu tersenyum pahit tanpa ekspresi. Dia berjalan cepat menuju mobilnya. Dadanya naik turun membayangkan betapa besarnya cinta Ajeng padanya. Betapa besar penyesalannya pada cinta pertamanya dulu. Apakah dia harus melampiaskan cinta pada Ajeng? Bintang membuka dompetnya dan memandang sosok tampang ceria dalam foto yang telah kumal. Ajeng punya sinar mata yang sama dengan dia yang entah berada dimana. Lelaki itu menitikkan air mata satu satu. Dia masuk dalam jurang kebimbangan. Dia butuh waktu untuk memastikan bahwa Ajeng bukan pelampiasan.

   



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.